Jaksa Memburu Diistimewakan dalam RUU Kejaksaan

Spread the love

Infoone – Jakarta, 27 September 2020. Sorotan publik terhadap lembaga Kejaksaan terus berlanjut, setelah kasus Djoko Tjandra diikuti pembakaran gedung utama Jaksa Agung, kini lembaga peradilan tempat mengeksekusi kasus-kasus yang telah inkracht itu ramai diperbincangkan karena mengusulkan revisi UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Sorotan mengenai hal ini terutama dilatari mulusnya RUU Kejaksaan dari pembahasan di Badan Legislasi DPR RI pada pekan lalu, Kamis (17/9/2020).

Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi yang memimpin jalannya rapat menilai semua fraksi di DPR tidak keberatan RUU Kejaksaan diproses lebih lanjut sesuai dengan mekanisme yang berlaku di DPR.

“Setelah kita mendengarkan pendapat, pandangan fraksi-fraksi tentu dengan segala catatan-catatanya. Semua fraksi pada intinya tidak keberatan, untuk diteruskan pada proses yang lebih lanjut sesuai dengan ketentuan DPR, apakah setuju?” tanya Baidowi kepada tiap perwakilan fraksi, seketika dijawab “setuju” oleh para Anggota Baleg DPR RI.

Proses yang begitu mulus di DPR ini membuat sejumlah pengamat mempertanyakan esensi pembahasan harmonisasi yang sama sekali tidak banyak menggodok catatan kritis draft RUU. Seperti disampaikan Andrea H Poeloengan selaku Praktisi Hukum dan Anggota Mahupiki.

Dalam keterangannya kepada sejumlah media, ia mengemukakan perubahan yang sangat signifikan hampir di seluruh pasal ini berpotensi memicu konflik antar lembaga penegak hukum.

“Beberapa poin perubahan menyangkut perluasan kewenangan Jaksa yang bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Perluasan kewenangan ini akhirnya akan mempersulit kontrol antar Criminal Justice System (CJS) dan mengarah kepada kemutlakan kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum,” kata Andrea yang juga Komisioner Kompolnas periode 2016-2020.

Ia memerinci perluasan kewenangan tersebut mencakup masuknya Jaksa pada fungsi pengembangan penyidikan dan penyelidikan; penyadapan; dan melaksanakan mediasi penal. Perluasan kewenangan tersebut juga banyak tercecer pada berbagai pasal, jika dirinci kata Andrea, misalnya pada penanganan isu HAM berat.

“Menjadi multitafsir pada definisi Jaksa Agung di pasal 18, disitu disebutkan Jaksa Agung dapat mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan dan tugas-tugas lain yang diberikan oleh negara. Ketentuan ini mengarah kepada “kemutlakan” kewenangan Jaksa dalam penegakan hukum,” tegasnya.

Andrea menekankan, “Kemutlakan” atau absolut kewenangan Jaksa tersebut malah membuat bahaya, karena jika mengutip Sir John Dalberg-Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”

Hal senada diutarakan Profesor Riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo yang mengemukakan berbagai keistimewaan yang diajukan dalam RUU Kejaksaan sangat tidak berimbang dengan situasi dan kondisi kinerja penegakan hukum Kejaksaan.

Berbagai tunggakan perkara yang menumpuk dan permasalahan yang dihadapi Korps Adhyaksa, menurut Hermawan seharusnya melahirkan introspeksi dan lebih mengedepankan reformasi.

“Pembenahan internal untuk perbaikan institusi Adhyaksa agar lebih baik lagi saat ini lebih penting, ketimbang memburu berbagai keistimewaan dan kewenangan besar,” ucapnya yang ditemui secara terpisah.

Jika selama ini jaksa menjalankan kewajiban dan kewenangannya sebagai Penuntut Umum, maka perlindungan yang diusulkan dalam RUU Kejaksaan tidak dibutuhkan.

“Jika dalam tugasnya jaksa minta dilindungi, lalu bagaimana dengan polisi dan KPK yang justru dalam menjalankan tugasnya bersentuhan langsung dengan para pelaku kejahatan. Bahkan, polisi lebih mengerikan resiko tugasnya,” ujar pria yang akrab disapa Kiki ini.

Lebih lanjut Kiki memberikan kritik terhadap permintaan kewenangan untuk melakukan penyidikan lanjutan yang diusulkan dalam RUU Kejaksaan, menunjukkan indikasi adanya deal politik di Senayan. Hal tersebut mengarah pada, jika perkara-perkara dimajukan oleh penyidik polri, maka jaksa dapat menggunakan kewenangan diskresi dan kewenangan deponering (pengesampingan perkara demi kepentingan umum) untuk tidak melanjutkan perkara tersebut. Bahkan, dengan kewenangan penyidikan lanjutan jaksa dapat melakukan penyidikan tersendiri.

“Para pembuat undang-undang harus menyadari bahwa jaksa bukan penegak hukum sendirian, jangan benturkan jaksa dengan penegak hukum lain dengan cara yang tidak benar,” tegasnya.

Kejaksaan Agung, Kepolisian, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakat merupakan bagian dalam Criminal Justice System yang satu sama lainnya saling berhubungan dan terkait dalam hal system penegakan hukum Pidana di Indonesia. Kiki menerangkan, salah satu subsistem mengalami perubahan atau dalam hal ini penambahan dan perluasan kewenangan maka akan berdampak pada subsistem yang lainnya.

“Jaksa bukanlah penegak hukum yang berdiri sendiri sehingga dari mulai penyidikan dan penuntutan bahkan memutuskan sendiri terhadap suatu permasalahan hukum. Jika RUU ini terjadi, maka keberadaan penegak hukum lain mungkin saja lama kelamaan akan dibubarkan karena Jaksa sudah dapat menyidik, menuntut dan memutus sendiri suatu permasalahan hukum,” tambahnya.

Di akhir penuturannya, Kiki menekankan pembagian kewenangan dan tanggungjawab pada proses penegakan hukum dalam Criminal Justice System merupakan bentuk saling kontrol antar penegak hukum, untuk menghasilkan proses penegakan hukum yang berimbang. Jika saat ini akan diambil alih oleh salah satu penegak hukum saja, maka akan membahayakan bagi keberlangsungan penegakan hukum yang berkeadilan dan berimbang.

“Poin kritis bagi masyarakat, berbagai perluasan kewenangan Kejaksaan tidak memberikan asas kepastian hukum bagi masyarakat,” pungkasnya. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous post Hermawan Sulistyo Soroti Potensi Penyalahgunaan Wewenang di RUU Kejaksaan
Next post RUU Kejaksaan, Pakar Hukum Pidana : Balik Lagi ke Zaman Kolonial Belanda